Selasa, 25 Agustus 2009

SOUTH SULAWESI ON TRIP 07 AGUSTUS s.d. ?? (bag.7 Makassar City Tour)

Semua yang diputuskan sudah dipertimbangkan matang-matang. Termasuk menginap di Hotel Afiat di daerah Manday, Maros ini. akses terdekat menuju Bantimurung yang juga berada di kabupaten Maros. Baru kemudian ke pusat kota Makassar termasuk pantai Losari.

Tetapi pagi ini, Rifa'i memutuskan membatalkan ke Bantimurung. Takut tidak ada waktu untuk berkeliling kota Makassar karena sore hari ia sudah harus ke Bandara Sultan Hasanuddin untuk kembali ke Jakarta. Tidak ingin ambil resiko, saya menyetujui meskipun sebenarnya cukup waktu untuk mengunjungi kedua lokasi tersebut.

Sepanjang hari kami berkeliling kota Makassar. Naik pete-pete dari Maros sampai terminal Daya dan disambung dengan pete-pete tujuan Sentral. Sempat juga makan siang disini, tepatnya dipojokan pangkalan pete-pete, yang ternyata "sarangnya" preman pasar Sentral. Ternyata, berada di"sarangnya" justru kami diperlakukan sopan, bahkan sempat menjelaskan kepada kami arah menuju ke pantai Losari, meskipun nyali saya agak ciut dikelilingi sekumpulan "raja pasar" ini.

Dari sini kami berjalan kaki seperti yang ditunjukkan para "sahabat" baru di kota ini. Melewati lapangan stadion Karebosi yang baru saja dimodern-kan. Mungkin mengadopsi dari Blok M Mall yang berada di bawah terminal bus dalam kota di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tepat dibawah stadion dibangun mal yang konon katanya cukup megah. Tetapi saya tidak masuk kedalamnya. Bukan tujuan saya kesini kalau hanya sekedar melihat-lihat mall.

Tidak terasa kami berjalan kaki hingga tiba di pantai Losari setelah sempat tersesat dan bertanya-tanya kepada beberapa warga yang kami temui. Lelah berjalan dari pasar Sentral sejauh kurang lebih 3 km dari pantai Losari dan panas terik yang membakar, serta keputus-asaan tidak menemukan penginapan murah di sepanjang pantai, kami memutuskan melanjutkan pencarian penginapan dengan menggunakan becak. Setelah itu city tour sekitar pantai losari dilanjutkan kembali.


~ di lapangan karebosi yang modern ~


BENTENG FORT ROTTERDAM

Benteng yang aslinya bernama Benteng Ujung Pandang ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa Ke9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi Batu Padas yang bersumber dari pegunungan Karst yang ada Di daerah Maros.

Benteng Ujung Pandang berbentuk seperti seekor Penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi Bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa Penyu dapat hidup di darat maupun dilaut, Begitupun dengan kerajaan Gowa yang Berjaya di daratan maupun dilautan. Mungkin itu sebabnya orang Gowa-Makassar mempunyai sebutan lain untuk benteng ini, Benteng Panyyua.

Dahulu benteng ini merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa, namun pada saat Kerajaan Gowa-Tallo menandatangani perjanjian Bungayya yang dalam salah satu pasal perjanjian itu mewajibkan Kerajaan Gowa Untuk Menyerahkan Benteng ini kepada Belanda. Dan pada saat Belanda Menempati Benteng ini, nama benteng Ujung Pandang diubah menjadi Benteng Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Bukti perjuangan dan keperkasaan benteng ini yaitu adanya bagian bangunan yang hancur akibat serangan meriam dari Belanda pada masa kerajaan Gowa. Meskipun sebagian besar bangunan masih berdiri kokoh, bagian bangunan yang hancur sengaja dibiarkan seperti aslinya. Sejarah tentang benteng ini dan juga benda-benda peninggalan kerajaan Gowa-Tallo serta kerajaan disekitar Sulawesi masih tersimpat rapi di musium La Galigo, yang terdapat di salah satu bangunan benteng.

Benteng ini juga pernah dijadikan tempat pengasingan Pangeran Dipenogora ketika beliau kalah perang dengan Belanda. Selama 26 tahun dibuang dan diasingkan disini hingga akhir hayatnya. Satu yang menarik, pintu masuk menuju ruang pengasingannya sengaja dibuat rendah oleh Belanda. Selama diasingkan beliau tidak pernah menaruh hormat kepada Belanda meski harus dipaksa. Satu-satunya jalan, dibuatlah pintu masuk yang sangat rendah hingga ketika saya masukpun harus merundukkan badan dan kepala saya. Hal ini ditujukan agar sang pangeran "terpaksa" menunduk ketika harus keluar ataupun masuk ke ruangan. Itulah satu-satunya jalan yang dilakukan pihak Belanda sebagai bentuk tunduk dan hormat Pangeran Dipenogoro kepada mereka.

Ditengah-tengah benteng, terdapat sebuah gereja Immanuel yang dibangun pihak Belanda ketika benteng jatuh ke kekuasaan mereka. Hingga saat ini gereja tersebut masih dipergunakan oleh umat kristen Makassar.




~ salah satu sudut benteng ~



~ bekas bangunan yang hancur oleh Belanda ~



~ sisa reruntuhan ~



~ tempat pengasingan Pangeran Dipenogoro ~



~ gereja Immanuel, tepat ditengah-tengah benteng ~

Saya sedang asyik membersihkan lensa kamera kodak Z 740 saya yang sudah lama tidak ada penutup lensanya, ketika dua orang wanita datang menghampiri kami. Kelihatan seperti turis Asia, Singapura mungkin...

"Mas, dari Jakarta ya?!"
Nah loe!!! bisa bahasa Indonesia dia, pikirku..

"Iya, mbak dari mana?"
"Sama, dah berapa hari disini, dah kemana aja?"

Begitulah awal pertemuan kami dengan kedua wanita yang belakangan kami berkenalan. Emmy dan Zais. Mereka baru tiba dari Jakarta dini hari tadi. Dan benteng inilah tujuan pertama mereka.


~ bertemu dengan mbak Emmy (backpacker) dan mbak Zais ~

"Setelah ini mau kemana lagi?" tanya Emmy ketika sudah cukup berkeliling benteng Fort Rotterdam.


PANTAI LOSARI

Kami memutuskan menghabiskan hari dengan berjalan bersama. Meninggalkan benteng Fort Rotterdam yang memang berada di pinggir pantai dan terus berjalan kaki menuju Losari Plaza, seperti tugu, pusatnya pantai Losari.

Di pantai ini, menurut kabar yang saya dengar, adalah satu-satunya pantai di Indonesia yang dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam di satu titik, tempat berdiri yang sama. Hmm.. wajar saja pantai ini menjadi "icon"nya kota Makassar. Banyaknya Hotel dari kelas melati hingga bintang 5 berpusat disini. Belum lagi di sepanjang pantai banyak berjejer rumah makan yang menyajikan makanan khas Makassar seperti Coto, Sop Konro, Es Palubutung, Es Pisang Hijau. Belum lagi pedagang kaki lima dengan aneka penganan yang memenuhi sisi jalan sepanjang pantai ini diwaktu sore hari. Pisang Epe, salah satu jajanan pinggir jalan yang terkenal itu.


~ selamat datang di Pantai Losari ~



~ sang kontroversial ~



~ salah satu view di "Plaza" Losari ~

Hari sudah semakin sore
kami menuju ke sentra oleh-oleh yang tidak jauh dari pantai Losari, tepatnya di jalan Somba Opu sebelum akhirnya berpisah dengan Rifa'i yang malam nanti akan balik ke Jakarta. Begitu banyak titipan yang harus dia beli hingga akhirnya harus dibungkus dengan kardus besar... Yap.. backpacker yang membawa dan menenteng-nenteng kardus besar.

"Gw kaya orang abis dari kampung nih!!"
"ha..ha..ha..."
"Gak ada deh Pay, backpacker pergi bawa tas selempang, nenteng kardus lagi... bener kaya orang mau mudik loe!! "

"HA..HA...Ha...Ha..." kami berempat sontak tertawa...

Di depan penginapan saya bermalam, kami berpisah.. Rifa'i menuju bandara dengan kardus besarnya, mbak Emmy dan mbak Zais kembali ke penginapan mereka. Kami sudah punya rencana buat besok pagi.
Bersama menuju ke Bantimurung....





Itinerary (untuk 2 orang) hari ke-5 :
Penginapan Afiat, simpang bandara lama (standar AC + TV) : Rp.135.000,-
Naik turun pete-pete (angkutan kota makassar) : RP. 12.000,-
Makan siang : Rp. 30.000,-
Becak : Rp.10.000,-
Benteng Fort Rotterdam (sukarela, tidak ada loket penjualan khusus untuk masuk ke benteng ini) : Rp. 20.000
Makan malam : nahan laper :)
Total hari ke-5 : Rp. 207.000,-

1 komentar:

Anonim mengatakan...

menarik sekali pak jalan2nya, terutama yang di tana toraja.. jadi pengen banget kesana neh..