Selasa, 25 Agustus 2009

SOUTH SULAWESI ON TRIP 07 AGUSTUS s.d. ?? (bag.8 Last Day in Makassar)

Rabu, 12 Agustus 2009

Saya bangun kesiangan hari ini. Sial!!, Sebenarnya ingin sekali menyaksikan sunrise disatu titik di pantai Losari, dan akan kembali di tempat yang sama saat matahari akan tenggelam sore nanti. Hanya ingin membuktikan bahwa di pantai ini sunrise dan sunset dapat disaksikan. Rupanya saya keasyikan tidur semalam, mungkin akibat lelah memutari kota Makassar seharian. Perut saya sudah keroncongan minta diisi. Semalam saya tidak sempat makan. Hanya makanan ringan saja sebagai pengganjal perut. Saya mau mencoba jajanan pagi disepanjang pantai Losari, toh masih ada waktu sebelum menjemput dua kawan baru saya, Emmy dan Zais di penginapannya.

Rabu pagi tidak banyak aktivitas disepanjang pantai ini. Hanya sesekali melintas orang yang sedang berolah raga pagi.  Pedagang penjaja makananpun tak cukup banyak yang mangkal. Tetapi saya tertarik dengan sebuah gerobak yang cukup ramai dipadati orang di salah satu sudut pertokoan seberang pantai. Saya mau mencobanya.

Seporsi bubur ayam lengkap dengan telur ayam rebus cukup menggugah selera makan saya. Rasanya khas, tidak seperti bubur ayam kebanyakan. Dengan kerupuk dan emping yang ditempatkan di mangkuk terpisah. Nggak tahu juga, sayanya yang kelaparan karena semalam tidak makan atau memang rasanya yang enak. Tetapi memang banyak orang yang rela antri untuk dapat mencicipinya. Sampai-sampai saya sendiri harus berdiri menunggu giliran dapat bangku kosong. Bangku kosong, waduh kaya judul film... Dan saya perhatikan yang datang makan ke tempat ini mulai dari karyawan, pelajar, dan bahkan pelancong seperti saya dengan membawa anggota keluarga lengkap. Begitu penuhnya dihari kerja, bagaimana dihari libur ya...  

HP saya tiba-tiba berbunyi. Panggilan masuk dari Emmy. Dia dan Zais sudah menunggu saya di hotelnya. Kami janji akan ke Bantimurung jam 9 pagi ini. Saya jalan bergegas menuju penginapan yang jaraknya sekitar 300an meter dari pantai. Tidak banyak waktu untuk packing barang-barang, Check-out hotel dan kembali berjalan kaki menuju hotel dua teman saya yang tidak terlalu jauh lokasinya dari tempat saya menginap. Kami janjian bertemu di depan lobby.

Emmy sudah menunggu di depan hotel.
"Di, ransel kamu dititipin di receptionist hotel aja. Repotlah mau jalan-jalan bawa tas gede. Aku juga titip ransel disitu, sekalian check-out. Sini aku bawa, biar dikira punyaku. kamu tunggu disini aja ya?!"

Salah satu tips backapcker untuk menghemat biaya adalah seperti yang dilakukan oleh Emmy. Rata-rata hotel membatasi waktu Check-out adalah jam 12 siang. Jika ingin bepergian keluar hotel seharian sehingga melewati batas waktu Check-out, dan tidak ingin repot dengan tas bawaan yang dapat mengganggu kenyamanan adalah dengan menitipkan tas/barang bawaan di Receptionist dan dapat diambil setelah kembali ke hotel. Hemat biaya, karena tidak dikenakan Charge. Lebih beruntung kalau penginapan dapat memberikan fasilitas kamar mandi buat bersih-bersih...

Dua jam perjalanan menuju tempat wisata alam Bantimurung setelah 4 kali ganti "pete-pete", sebutan angkutan kota di Makassar. Dari depan hotel di Losari naik pete-pete hingga ke pasar Sentral. Di pasar Sentral kami sempat tersesat. Hmm.. tidak juga, disesatkan lebih tepatnya. Sopir pete-pete yang membawa kami salah menunjukkan jalur pete-pete yang ke terminal Daya. Sempat kehilangan arah sampai saya coba mengingat kembali sewaktu saya datang kesini dari terminal Daya kemarin. Maklumlah pasar, bukan terminal. begitu banyak perempatan dan tiap pete-pete memiliki jalur trayeknya masing-masing. Untungnya saya melihat tempat makan yang saya kunjungi kemarin bersama rifa'i. Tempat berkumpulnya para preman pasar, kawan baru kami ditempat ini. Anehnya, saya bukan merasakan takut berada di daerah ini tetapi malah bergembira karena ditempat inilah pete-pete yang menuju ke terminal Daya melintas.

Begitu sampai terminal Daya, kembali kami harus naik pete-pete melanjutkan perjalanan ke Maros. Melewati jalan yang sama ketika pergi ke Tana Toraja adalah sesuatu yang membosankan. Sudah 6 kali saya bolak-balik melalui jalur terminal Daya-Maros yang terbilang pemandangan yang biasa ini. Mulai dari pertama kali saya datang dari Bandara untuk mengejar bus malam ke Toraja, kembali ke Maros untuk mencari penginapan, ke terminal Daya keesokan paginya dan kembali melewati Maros menuju Toraja. Sepulang dari Toraja menginap di Maros dan besoknya menuju ke kota Makassar.

Namun cerita tentang pengalaman Emmy selama menjadi backpacker sepanjang perjalanan menghilangkan kejenuhan saya. Ternyata saya kalah dengan dia yang sudah menjelajahi sebagian negara di Asia, dan kebanyakan seorang diri. Salut buat backpacker wanita yang satu ini...

Satu kali lagi kami harus naik Pete-pete dari Maros ketika akhirnya tiba juga di tempat wisata air terjun Bantimurung. Dengan hawanya yang cukup sejuk karena berada di pegunungan. Rasa penasaran saya akan keindahan air terjun ini terbayar sudah,  dengan ketinggian yang landai, dan dindingnya yang berulir sehingga memberikan efek riak kecil dari air yang jatuh dari atas. Sekawanan kupu-kupu yang terbang bebas seakan menggoda setiap mata untuk menangkapnya. Disinilah terdapat banyak spesies kupu-kupu, dan bahkan disebut-sebut memiliki koleksi kupu-kupu terlengkap didunia. Hmm.. saya serasa berada di kerajaan kupu-kupu.





~ air terjun bantimurung ~
















~ keramaian pengunjung yang mandi di air terjun ~




~ untuk kenyamanan, hindari hari libur ~



~ just another view ~


~ Emmy sang backpacker sejati ~



~ air terjun - telaga = 1 km ~



~ jalan khusus menyusuri sungai ~

Perjalanan kami lanjutkan dengan menaiki anak tangga yang berada persis di sebelah air terjun. Menelusuri jalan khusus yang sengaja dibuat disepanjang sungai dengan airnya yang berwarna biru kehijauan seakan saya berada didaerah pedalaman hutan belantara. Emmy bilang seperti berada di sungai amazon... perjalanan sekitar 1 km menelusuri sungai ini terasa tidak melelahkan. Apalagi ketika kami sampai di penghujung jalan. Telaga biru terbentang begitu menyejukkan mata dan gua batu yang terletak disebelahnya membuat saya begitu takjub akan karya-Nya, meskipun keindahan Gua Cerme di Gunung Kidul Jogjakarta masih belum tergantikan keelokannya. Gua yang mengalir sungai bawah tanah didalamnya dengan suguhan stalagtit dan stalagmit menakjubkan sepanjang kurang lebih 3 km yang memaksa saya 2 kali datang kembali kesana.




~dilarang mandi disini. Elok namun menghanyutkan~




~telaga biru~



~hidden paradise~


~ gate ~



~ belajar merangkai di penangkaran Ali ~



~ kupu-kupu raja, hampir punah ~



~ beautiful in my hand ~


Sore hari setelah mengambil tas ransel dari hotel, kami sempatkan diri mengantar senja di pantai Losari sembari menikmati lezatnya seporsi es Pallubutung.

Sungguh tidak ada yang lebih sempurna selain berakhir dengan indah ketika sebuah perjuangan berat telah dilewati bukan?


~ mengantar senja (sunset) di pantai losari ~


Kepergian senja sekaligus mengakhiri perjalanan saya selama di Sulawesi Selatan. Sementara Emmy dan Zais akan melanjutkan perjalanannya ke Tana Toraja dengan menumpang bis Litha malam ini.

Saya memutuskan ikut menemani mereka hingga sampai ke pool bis Litha. Masih banyak waktu sebelum melanjutkan perjalanan saya ke Bandara Sultan Hasanuddin untuk kembali ke Jakarta. Saya menyempatkan mandi di toilet umum di areal pool bus yang ramai oleh calon penumpang yang hendak pergi ke berbagai tujuan di Sulawesi. Kurang PeDe rasanya ke bandara dengan bau asem yang melekat di badan setelah seharian berpete-pete ria dan tracking di Bantimurung. Kebersihan dan kenyamanan toilet umun sempat membuat saya mengurungkan niat, namun begitu mencium bau badan saya yang jauh lebih bau dari toilet ini, mau tidak mau saya harus membersihkan diri.

Saatnya berpisah dengan Emmy dan Zais. Kami berjanji suatu saat akan jalan bareng ke suatu tempat yang masih mistery buat kami. Emmy sudah punya rencana akan ke India dan Nepal akhir tahun depan bersama teman backpackernya dari Malaysia. Dia menawari saya untuk bergabung bersamanya. Impian saya bisa sampai ke Himalaya, dan Nepal adalah salah satu akses menuju kesana. Tapi sayang, saya tidak cukup punya uang dan waktu cuti untuk kesana. Sebuah mimpi yang belum bisa saya wujudkan dalam waktu dekat ini.

Semoga suatu saat nanti....


Intenerary (satu orang) hari ke-6 :
Penginapan (AC dan TV) : Rp.100.000,-
Sarapan Bubur Ayam depan pantai : Rp.7.500,-
Angkutan Pete-Pete pp : Rp.28.000,-
Snack dan minuman : Rp. 7.500,-
Tiket Masuk Bantimurung : Rp. 5.000,-
Makan Siang : Rp.5.000,-
Es Palubutung : Rp.6.000,-
Taxi ke Bandara : Rp.50.000,-
Makan Malam Bandara (nasi rawon + aqua botol) : Rp. 15.000,- (harga termurah selama makan di bandara)
Airport Tax : Rp. 30.000,-
Total hari ke-6 : Rp. 254.000,-

SOUTH SULAWESI ON TRIP 07 AGUSTUS s.d. ?? (bag.7 Makassar City Tour)

Semua yang diputuskan sudah dipertimbangkan matang-matang. Termasuk menginap di Hotel Afiat di daerah Manday, Maros ini. akses terdekat menuju Bantimurung yang juga berada di kabupaten Maros. Baru kemudian ke pusat kota Makassar termasuk pantai Losari.

Tetapi pagi ini, Rifa'i memutuskan membatalkan ke Bantimurung. Takut tidak ada waktu untuk berkeliling kota Makassar karena sore hari ia sudah harus ke Bandara Sultan Hasanuddin untuk kembali ke Jakarta. Tidak ingin ambil resiko, saya menyetujui meskipun sebenarnya cukup waktu untuk mengunjungi kedua lokasi tersebut.

Sepanjang hari kami berkeliling kota Makassar. Naik pete-pete dari Maros sampai terminal Daya dan disambung dengan pete-pete tujuan Sentral. Sempat juga makan siang disini, tepatnya dipojokan pangkalan pete-pete, yang ternyata "sarangnya" preman pasar Sentral. Ternyata, berada di"sarangnya" justru kami diperlakukan sopan, bahkan sempat menjelaskan kepada kami arah menuju ke pantai Losari, meskipun nyali saya agak ciut dikelilingi sekumpulan "raja pasar" ini.

Dari sini kami berjalan kaki seperti yang ditunjukkan para "sahabat" baru di kota ini. Melewati lapangan stadion Karebosi yang baru saja dimodern-kan. Mungkin mengadopsi dari Blok M Mall yang berada di bawah terminal bus dalam kota di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tepat dibawah stadion dibangun mal yang konon katanya cukup megah. Tetapi saya tidak masuk kedalamnya. Bukan tujuan saya kesini kalau hanya sekedar melihat-lihat mall.

Tidak terasa kami berjalan kaki hingga tiba di pantai Losari setelah sempat tersesat dan bertanya-tanya kepada beberapa warga yang kami temui. Lelah berjalan dari pasar Sentral sejauh kurang lebih 3 km dari pantai Losari dan panas terik yang membakar, serta keputus-asaan tidak menemukan penginapan murah di sepanjang pantai, kami memutuskan melanjutkan pencarian penginapan dengan menggunakan becak. Setelah itu city tour sekitar pantai losari dilanjutkan kembali.


~ di lapangan karebosi yang modern ~


BENTENG FORT ROTTERDAM

Benteng yang aslinya bernama Benteng Ujung Pandang ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa Ke9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi Batu Padas yang bersumber dari pegunungan Karst yang ada Di daerah Maros.

Benteng Ujung Pandang berbentuk seperti seekor Penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi Bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa Penyu dapat hidup di darat maupun dilaut, Begitupun dengan kerajaan Gowa yang Berjaya di daratan maupun dilautan. Mungkin itu sebabnya orang Gowa-Makassar mempunyai sebutan lain untuk benteng ini, Benteng Panyyua.

Dahulu benteng ini merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa, namun pada saat Kerajaan Gowa-Tallo menandatangani perjanjian Bungayya yang dalam salah satu pasal perjanjian itu mewajibkan Kerajaan Gowa Untuk Menyerahkan Benteng ini kepada Belanda. Dan pada saat Belanda Menempati Benteng ini, nama benteng Ujung Pandang diubah menjadi Benteng Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Bukti perjuangan dan keperkasaan benteng ini yaitu adanya bagian bangunan yang hancur akibat serangan meriam dari Belanda pada masa kerajaan Gowa. Meskipun sebagian besar bangunan masih berdiri kokoh, bagian bangunan yang hancur sengaja dibiarkan seperti aslinya. Sejarah tentang benteng ini dan juga benda-benda peninggalan kerajaan Gowa-Tallo serta kerajaan disekitar Sulawesi masih tersimpat rapi di musium La Galigo, yang terdapat di salah satu bangunan benteng.

Benteng ini juga pernah dijadikan tempat pengasingan Pangeran Dipenogora ketika beliau kalah perang dengan Belanda. Selama 26 tahun dibuang dan diasingkan disini hingga akhir hayatnya. Satu yang menarik, pintu masuk menuju ruang pengasingannya sengaja dibuat rendah oleh Belanda. Selama diasingkan beliau tidak pernah menaruh hormat kepada Belanda meski harus dipaksa. Satu-satunya jalan, dibuatlah pintu masuk yang sangat rendah hingga ketika saya masukpun harus merundukkan badan dan kepala saya. Hal ini ditujukan agar sang pangeran "terpaksa" menunduk ketika harus keluar ataupun masuk ke ruangan. Itulah satu-satunya jalan yang dilakukan pihak Belanda sebagai bentuk tunduk dan hormat Pangeran Dipenogoro kepada mereka.

Ditengah-tengah benteng, terdapat sebuah gereja Immanuel yang dibangun pihak Belanda ketika benteng jatuh ke kekuasaan mereka. Hingga saat ini gereja tersebut masih dipergunakan oleh umat kristen Makassar.




~ salah satu sudut benteng ~



~ bekas bangunan yang hancur oleh Belanda ~



~ sisa reruntuhan ~



~ tempat pengasingan Pangeran Dipenogoro ~



~ gereja Immanuel, tepat ditengah-tengah benteng ~

Saya sedang asyik membersihkan lensa kamera kodak Z 740 saya yang sudah lama tidak ada penutup lensanya, ketika dua orang wanita datang menghampiri kami. Kelihatan seperti turis Asia, Singapura mungkin...

"Mas, dari Jakarta ya?!"
Nah loe!!! bisa bahasa Indonesia dia, pikirku..

"Iya, mbak dari mana?"
"Sama, dah berapa hari disini, dah kemana aja?"

Begitulah awal pertemuan kami dengan kedua wanita yang belakangan kami berkenalan. Emmy dan Zais. Mereka baru tiba dari Jakarta dini hari tadi. Dan benteng inilah tujuan pertama mereka.


~ bertemu dengan mbak Emmy (backpacker) dan mbak Zais ~

"Setelah ini mau kemana lagi?" tanya Emmy ketika sudah cukup berkeliling benteng Fort Rotterdam.


PANTAI LOSARI

Kami memutuskan menghabiskan hari dengan berjalan bersama. Meninggalkan benteng Fort Rotterdam yang memang berada di pinggir pantai dan terus berjalan kaki menuju Losari Plaza, seperti tugu, pusatnya pantai Losari.

Di pantai ini, menurut kabar yang saya dengar, adalah satu-satunya pantai di Indonesia yang dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam di satu titik, tempat berdiri yang sama. Hmm.. wajar saja pantai ini menjadi "icon"nya kota Makassar. Banyaknya Hotel dari kelas melati hingga bintang 5 berpusat disini. Belum lagi di sepanjang pantai banyak berjejer rumah makan yang menyajikan makanan khas Makassar seperti Coto, Sop Konro, Es Palubutung, Es Pisang Hijau. Belum lagi pedagang kaki lima dengan aneka penganan yang memenuhi sisi jalan sepanjang pantai ini diwaktu sore hari. Pisang Epe, salah satu jajanan pinggir jalan yang terkenal itu.


~ selamat datang di Pantai Losari ~



~ sang kontroversial ~



~ salah satu view di "Plaza" Losari ~

Hari sudah semakin sore
kami menuju ke sentra oleh-oleh yang tidak jauh dari pantai Losari, tepatnya di jalan Somba Opu sebelum akhirnya berpisah dengan Rifa'i yang malam nanti akan balik ke Jakarta. Begitu banyak titipan yang harus dia beli hingga akhirnya harus dibungkus dengan kardus besar... Yap.. backpacker yang membawa dan menenteng-nenteng kardus besar.

"Gw kaya orang abis dari kampung nih!!"
"ha..ha..ha..."
"Gak ada deh Pay, backpacker pergi bawa tas selempang, nenteng kardus lagi... bener kaya orang mau mudik loe!! "

"HA..HA...Ha...Ha..." kami berempat sontak tertawa...

Di depan penginapan saya bermalam, kami berpisah.. Rifa'i menuju bandara dengan kardus besarnya, mbak Emmy dan mbak Zais kembali ke penginapan mereka. Kami sudah punya rencana buat besok pagi.
Bersama menuju ke Bantimurung....





Itinerary (untuk 2 orang) hari ke-5 :
Penginapan Afiat, simpang bandara lama (standar AC + TV) : Rp.135.000,-
Naik turun pete-pete (angkutan kota makassar) : RP. 12.000,-
Makan siang : Rp. 30.000,-
Becak : Rp.10.000,-
Benteng Fort Rotterdam (sukarela, tidak ada loket penjualan khusus untuk masuk ke benteng ini) : Rp. 20.000
Makan malam : nahan laper :)
Total hari ke-5 : Rp. 207.000,-

Kamis, 20 Agustus 2009

SOUTH SULAWESI ON TRIP 07 AGUSTUS s.d. ?? (bag.6 Kembali Ke Makassar)

Keesokan harinya saya dan rifa'i memutuskan kembali ke Makassar setelah perdebatan untuk menentukan sisa tujuan di Tana Toraja berakhir buntu. Sebelumnya kami disuguhkan sarapan nasi goreng 'Spesial" ala pondok pelangi. Spesial karena diselingi "wejangan pagi" bersama sang pemilik pondok, oma Jacqueline, atau bunda biasa beliau dipanggil. Usianya sudah hampir memasuki 79 tahun. "Sebentar lagi sudah masuk maghrib", gurau beliau tentang usianya. Obrolan hangat sekitar masa muda beliau, dan perjuangan beliau sewaktu menjadi wakil rakyat di DPRD Tana Toraja. Dari fisik dan semangat beliau, tidak terlihat usianya yang menjelang senja. Wanita yang tegas, berkarakter dan berwibawa, namun murah senyum. Sepintas senyumnya mengingatkan saya pada isteri mantan orang nomor satu di negeri ini.


~Rifa'i bersama oma Jacqueline~



~senyumnya mirip siapa ya?~



~ didepan pondok, persiapan kembali ke Makassar ~


Tidak ingin terulang mimpi buruk sepanjang perjalanan waktu ke Tana Toraja, kali ini saya menumpang bis Litha. Kami menyusuri jalanan menikmati kota ini untuk terakhir kalinya. Agen bis Litha terletak di antara toko-toko pasar Rantepao. Didepan toko-toko tersebut banyak pedagang kaki lima yang berjualan T-Shirt, gantungan kunci, dan souvenir lain disamping pedagang buah dan makanan khas Tana Toraja. Mirip sekali dengan Jl. Malioboro, Jogjakarta, tetapi lebih pendek.

Sebuah bus besar parkir didepan agen bis ketika saya tiba. Untunglah kami tepat waktu, Lima menit lagi bus akan berangkat. Tepat pukul sebelas atau kami harus menunggu sampai jam tujuh malam untuk keberangkatan berikutnya. Hanya Rp.70.000,- perorang untuk menikmati kemewahan dan kenyamanan bis Litha ini.

Dan saya benar-benar menikmati perjalanan ini. Mungkin benar, Tana Toraja adalah negeri nirwana. Negerinya orang yang turun dari nirwana....



~pemandangan dari dalam bis~



~akhirnya bisa menikmati perjalanan~


Sesuai rencana yang telah disepakati, kami turun di daerah Maros-Manday tepatnya di persimpangan bandara lama. Karena keesokan paginya akan melanjutkan ke daerah Bantimurung. Dari sinilah akses terdekat ke tempat wisata yang terkenal dengan air terjun dan koleksi kupu-kupunya itu. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit dari sini. Sementara kalau dari kota Makassar, setidaknya butuh waktu lebih dari 1,5 jam untuk bisa sampai ke Bantimurung.




Itinerary (untuk 2 orang) hari ke-4 :
Tiket Bis Litha @ Rp.70.000,- : Rp. 140.000,-
Makan Siang : Rp.20.000,-
Makan Malam : Rp. 25.000,-
Total hari ke-4 : Rp. 185.000,-

SOUTH SULAWESI ON TRIP 07 AGUSTUS s.d. ?? (bag.5 Bermotor Ria Keliling Toraja)

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendreng dan Bugis Luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan". Memang Kabupaten Tana Toraja letaknya kurang lebih 300-600 meter di atas permukaan laut sehingga berudara sejuk. Sedangkan orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya "orang yang berdiam di sebelah barat".

Versi lain, kata Toraja berasal dari Tau=(orang), Maraya=orang besar, bangsawan. Kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan Tana Toraja.

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana. Menurut mitos yang hingga kini tetap diyakini di kalangan masyarakat Toraja, nenek moyang mereka yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana.













Sedangkan berdasarkan data sejarah versi lain, Tana Toraja aslinya mempunyai nama tua yang dikatakan dalam literatur kuna mereka sebagai "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo" , yang berarti negeri dengan pemerintahan dan masyarakat berketuhanan yang bersatu utuh bulat seperti bulatnya matahari dan bulan. Agama asli nenek moyang mereka adalah Aluk Todolo yang berasal dari sumber Negeri Marinding Banua Puan yang dikenal dengan sebutan Aluk Pitung Sa'bu Pitung Pulo. Ketika Belanda masuk, agama Aluk Todolo tergeser oleh missionaris Kristen yang menyebarkan agama diwilayah ini. Namun adat istiadat yang berakar pada konsep Aluk Todolo hingga kini masih dijalankan. Kita masih bisa menikmati pertunjukan upacara kematian masyarakat tator sebagai pengaruh kuat dari agama nenek moyang mereka.

Masih berdasarkan versi yang sama, penduduk yang pertama-tama menduduki/mendiami daerah Toraja pada zaman purba adalah penduduk yang bergerak dari arah Selatan dengan perahu. Mereka datang dalam bentuk kelompok yang dinamai Arroan (kelompok manusia). Setiap Arroan dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe' Arroan (Ambe' = bapak, Arroan = kelompok). Setelah itu datang penguasa baru yang dikenal dalam sejarah Toraja dengan nama Puang Lembang yang artinya pemilik perahu, karena mereka datang dengan mempergunakan perahu menyusuri sungai-sungai besar. Pada waktu perahu mereka sudah tidak dapat diteruskan karena derasnya air sungai dan bebatuan, maka mereka membongkar perahunya untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Tempat mereka menambatkan perahunya dan membuat rumah pertama kali dinamai Bamba Puang artinya pangkalan pusat pemilik perahu sampai sekarang. Hingga kini disekitar Ranteapo masih terdapat beberapa Bamba Puang milik keluarga keluarga paling berpengaruh dan terkaya disitu yang mendirikan Tongkonan (rumah adat Tator) beserta belasan lumbung padinya. Setiap Tongkonan satu keluarga besar dihiasi oleh puluhan tanduk kerbau yg dipakai untuk menjelaskan status sosial dalam strata masyarakat adat. Tongkonan itulah yang menjadi atraksi budaya dan menjadi obyek foto ratusan turis yang mendatangi Tana Toraja.


~wanita "gipsy" di salah satu sudut pasar~

Terlepas mana yang benar akan sejarah Tana Toraja, hari ini saya akan menikmati keindahannya dengan bermotor ria.


~Rifa'i bersama Ekonos, si "ojek" keliling Tator~



~pemandangan disalah satu desa~



~di jalan poros Makale-Rantepao~



~menyeberangi sungai~


KETE' KESU

Objek wisata yang paling dekat dengan pusat kota adalah Kete' Kesu. sebuah komplek rumah Tongkonan atau rumah adat Tana Toraja.



~rumah tinggal yang saling berhadapan dengan lumbung padi~









~semakin banyak tanduk kerbau, semakin tinggi strata sosialnya~






LONDA

Kuburan purba diatas tebing dan didalam goa yang masih dipergunakan sampai sekarang. Cara penguburannyapun berdasarkan strata sosial. Untuk kasta tertinggi, dimakamkan dengan cara digantung di dinding tebing. Kasta terendah diletakkan di dasar goa. Semakin tinggi makam dari posisi tanah, menunjukkan semakin tingginya strata sosial yang dimiliki si "penghuni" tersebut.

Ada yang menarik ketika saya masuk kedalam goa yang gelap gulita yang hanya diterangi dengan sebuah lampu petromaks. Didalam goa yang penuh dengan tumpukan peti dan tulang belulang yang berserakan, di salah satu sudutnya ada sepasang tulang tengkorak. Menurut cerita guide yang mengantar saya, mereka adalah sepasang kekasih yang cintanya tidak tersampaikan karena masih memiliki hubungan keluarga hingga akhirnya memutuskan mengakhiri hidupnya bersama-sama.



~"kuburan" terlihat dari kejauhan~



~patung replika jenazah, bentuk penghormatan dari keluarga yang ditinggalkan~



~kuburan yang digantung~






~kasta terendah, ditumpuk begitu saja~



~romeo dan juliet versi Tator~



~salah satu pemandangan di dalam goa~



~peti yang baru di"kubur" seminggu yang lalu"






MAKALE

Makale adalah sebuah kecamatan dan juga sebagai kota Administratif Kabupaten Tana Toraja. Banyak terdapat bangunan-bangunan tua di kota kecil ini. Di pusat kota terdapat alun-alun dan kolam air mancur besar yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah patung Lakipadada, seorang pejuang Tana Toraja. Beruntungnya saya di sini sedang diadakan gladi resik marching band dari para pelajar yang ada di Makale. Juga lomba panjat pinang meskipun hari kemerdekaan masih beberapa hari lagi


~kolam dengan patung lakipadada di pusat kota~



~gladi resik, persiapan agustusan~



~Rifa'i di salah satu sudut alun-alun~



~anak-anak toraja dalam keceriaan agustusan~



~salah satu hadiah~


Itinerary (untuk 2 orang) hari ke-3 :
Meal : Rp.100.000,-
Sewa motor untuk 8 jam : Rp.50.000,-
Penginapan Pondok Pelangi : Rp.125.000,-
Entry Kete Kesu dan Londa @Rp.5.000,- : Rp.20.000,-
Bensin : Rp.12.000,-
Total hari ke-3 : Rp.307.000,-