Jumat, 29 Januari 2010

UNGARAN STORY 27 s.d. 29 NOPEMBER 2009 Part 2

Akhirnya saya tiba juga di Semarang. Dengan segala kekumelan yang melekat, dan wajah yang sudah 5 watt menahan kantuk saya berjalan melenggang menyusuri lorong stasiun Semarang Poncol mengikuti jejak kawan-kawan yang lain. Panas yang menyengat diluar stasiun seketika menghilangkan kantuk saya. Hm... Selamat datang di semarang. Ibukota Propinsi Jawa Tengah dengan tipikal kota pantura yang panas.

"Guys, untuk tiket pulang ke jakarta, gue dah minta tolong petugas sekuriti disini. dia mau bantu kita. Gue dah titipin duit ke dia buat beli tiketnya, mudah-mudahan kita dapet tempat duduk besok. yah, berdoa aja ya..?!" Kata dwie ketika dia selesai mengurus tiket buat balik ke Jakarta. Sebuah tips jitu untuk mendapatkan tempat duduk disaat musim liburan.

"sekarang sambil menunggu Dheva yang sedang menuju kesini, kita cari sarapan diluar". tambahnya...

"OY!!! Dwie...!!" terdengar suara seseorang memanggil dari kejauhan. Sepertinya orang yang di stasiun Senen semalam yang bersama rombongan lainnya.
"Debbie?! ketemu lagi... Lu mau langsung cabut kemana?"
"ke Sidomukti trus langsung Ambarawa" jawabnya.
"hahaha... kite juga mo ke sidomukti dulu sebelum naik ke ungaran.. kalo gitu bareng aja bu..., oh iya kenalin dulu neh temen2 gue". begitulah dwie akhirnya mengundang rombongan debie untuk bersama2 ke sidomukti dan kamipun berkenalan dengan kawan-kawan baru.

"Hi Guys!! sorry kalian dah nunggu lama ya?" seseorang menegur selagi saya asyik menikmati nasi pecel disalah satu warung tenda depan stasiun. sepertinya Dheva, the last man in this trip telah tiba. sambil menunggu sarapan selesai, perkenalan dan perbincangan ringanpun tercipta. dan inilah sekilas tentang mereka :
1. Dheva, pria hitam manis dengan hidung mangir mirip perpaduan orang timur tengah dan india (Dewi nyebutnya Jeremy Thomas), berbadan tegap, murah senyum. umur tidak diketahui, dan belakangan ternyata dia ikutan trip ini untuk merayakan ulang tahunnya. (makan2nya belum dhev, masih gue tagih!!!). bekerja disalah satu perusahaan minyak asing.
2. Debbie, wanita ambon yang berdomisili di jakarta. berpenampilan tomboy, cuek, suka ketawa ngakak dengan gaya bahasa yang asyik punya... umur dan pekerjaan tidak diketahui. dialah penghidup suasana digroup ini...
3. Shinta, cewek keturunan batak yang jago banget bahasa bulenya. umur dan pekerjaan tidak diketahui. tomboy, dengan berat badan sedikit diatas normal namum punya semangat 45 dalam melakukan trip ini.
4. Lilin Chen, wanita import alias berasal dari negeri tirai bambu. belum ngeh dengan bahasa indonesia jd sering jd kacang garing aja selama perjalanan. dan sebaliknya begitu diajak make bahasa inggris gantian gue yang kebanyakan melongonya.. pekerjaan dijakarta sebagai pengajar
5. Valen, berkulit putih berkacamata. dengan tubuhnya yang sedikit subur mirip Boboho tapi Boboho yang 3 hari gk makan. pekerjaan tidak diketahui.
6. Wiji, cowok yang agak pendiem dan hanya berbicara seperlunya saja. dalam hal berat badan, Dwie lah pesaingnya. umur dan pekerjaan tidak diketahui.

searah jarum jam, Dwie, Zaki, Dewi, Valen, Debbie, Shinta, Joko, Wiji, Lin, Dheva, n gue


SENAM JATUNG SEHAT ALA ANGKOT CHARTERAN

Selesai sarapan dan semua telah berkumpul, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot menuju terminal. Dalam perjalanan sopir angkot menawarkan mengantar kami sampai tujuan yaitu Jibaran, akses menuju Sidomukti. Dwie dan Debbie yang duduk dibangku depan negosiasi harga dengan sopir. nego berhasil, sang sopir memutar haluan menuju arah jibaran, daerah Ungaran. akan tetapi tiba-tiba dari arah pojok belakang terdengar suara, "ki arep nang ndi? aku mudun kene wae wis.."

dan ternyata ada 1 penumpang yang sudah berada diatas angkot sebelum kami naik dari stasiun yang hampir terbawa bersama kami. seorang bapak kecil mungil dengan bawaan burung lengkap dengan sangkarnya (burung beneran loh!!). maklumlah sosok beliau tertutupi oleh barang bawaan kami yang segunung sehingga beliau yang duduk dipojokan tidak terlihat. bahkan untuk turunnya saja, kami harus turun dulu satu persatu untuk memberi beliau dan burungnya yang hanmpir tergencet turun dan dioper ke angkot lain untuk mencapai tujuannya. "maaf ya pak, selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan".

setelah memastikan lagi bahwa tidak ada penumpang lain selain kami, kembali knalpot angkot menderu menahan berat beban kami melintasi batas kota yang semakin menanjak.

disalah satu tanjakan lurus dan panjang yang saya sendiri tidak tahu nama daerahnya, angkot yang kami tumpangi tidak mampu melewatinya. sopir berusaha mengendalikan kendaraan dengan berjalan zig-zag yang sebenarnya cukup membahayakan juga buat kami dan pengendara lain terlebih dari arah berlawan yang meluncur turun dengan kencangnya seolah ingin menabrak kami. hujanpun turun menambah keketiran kami yang harap-harap cemas akankah perjalanan ini berakhir di rumah sakit atau kamar jenazah.. sementara dari dalam kabin kendaraan saya merasakan ada sesuatu yang aneh dari ban kiri belakang, hahaha... betul saja. ternyata bannya gembes. saya hanya tersenyum pasrah. yang terjadi, terjadilah...

Semua menahan nafas, diam tak bergeming. duh!! belum apa2 udah ditantang kejadian kayak gini. gue jd teringat celotehan teman yang sempet beberapa kali jalan bareng, dan dia berkomentar, "kenapa ya, setiap kali jalan ama loe, gue kok sial mlulu? waktu trekking di desa Turgo gue sempat tepar beberapa hari, betis gue bengkak. waktu jalan di kota tua, malamnya gue mencret2 gk keruan.." DEG!! apa emang iya gue pembawa sial?! pikir gue. ah, emang lg apes aja kali. buktinya sampe sekarang gue fine2 aja. dan mudah2an adegan zig-zag ditengah derasnya hujan dengan ban gembes ini juga berakhir dengan damai. NOT REST IN PEACE...

Sabtu, 02 Januari 2010

UNGARAN STORY 27 s.d. 29 NOPEMBER 2009 Part 1

Ada ketertarikan ketika saya membaca email dari salah satu rekan milist indobackpacker, Dwie Bayu. Ajakan trip ke ungaran, gedong songo, rawapening, museum kereta ambrawa, dan semarang kota lama. Rawapening dan ambarawa adalah point of interest saya. kecuali mendaki ke puncak ungaran, daerah lainnya sudah pernah saya kunjungi beberapa tahun silam.


Sebenarnya ada sedikit pressure mengikuti trip kali ini. Disamping belum kenal dengan peserta yang ikut, dan ini pertama kalinya saya ikut trip yang diadakan oleh anggota milist indobackpacker. Tetapi dari semua alasan itu yang paling menjadi pertimbangan adalah saya sudah lama banget nggak naik gunung dan sama sekali nggak punya peralatan kemping. Alhasil sehari sebelum keberangkatan saya sibuk mencari peralatan yang harus dibawa, dan sebagian terpaksa harus dibeli seperti sleeping bag, peralatan makan, dan sandal gunung (jd inget lagi sandal eiger saya yg setia menemani ke pelosok2 yang akhirnya hilang saat tarawih, hiks!!).


Berbekal semua itu, dan nomer kontak para peserta yang dah saya pegang, tepat pukul 17.00 tanpa pikir panjang saya langsung menuju halte busway Rawa Buaya, Cengkareng untuk meluncur ke TKP, stasiun Senen.


Adanya tansjakarta dengan jalur khusus busway-nya tidak serta merta perjalanan dari Rawa Buaya, cengkareng menuju St. Senen berjalan nyaman dan cepat. Lelah menunggu sekitar 45 menit yang seringkali halte tempat gue nunggu tidak disinggahi bus Transjakarta. Belum lagi bus express lsg ke pulogadung (kalau mau ke St. Senen lebih cepat naik bus yg tujuan ke pulogadung sehingga tidak transit dan mengantri kembali di halte harmoni) terhitung jarang, sekalipun ada penuhnya tidak berperikebuswayan. Syukurlah, berkat hasil sikut kanan sikut kiri tanpa menyakiti yang tersikut (nggak jelas!!!) akhirnya gue bs masuk bus ekspress tujuan pulogadung meskipun harus berdiri kaku dengan beban tas backpack yang besarnya segede gunung yang akan gue daki (lebay!!!).


Dalam kesesakan dan kesibukan gue ngatur posisi badan yang dah gk balance lagi dengan kaki, tiba2 hp gue berbunyi, pesan singkat dari dwie bayu, “guys, gue dah dapet tiketnya. Sorry gak dapet tempat duduk”. Hm.. sudah gue duga sebelumnya. Siap2 ngemper di lantai gerbong. Susah memang mendapatkan tempat duduk dengan membeli tiket secara dadakan apalagi saat libur panjang seperti sekarang. Yup, besok hari raya Idul Adha, dan itu berarti gue harus berdesakan dan buka lapak di atas kereta.


“Hallo, adi?! Kita dah di depan pintu masuk jalur selatan nih, loe dimana?
“gue di jalur pintu utara dwie, gue kesana sekarang deh…”


Waktunya ketemu para peserta trip. Duh, mereka dah ngumpul bareng dan gue orang terakhir yang belum berjumpa dengan mereka. Artinya, mereka sudah berkenalan satu sama lain sementara gue harus berbasa basi memperkenalkan diri.


Sekumpulan manusia-manusia aneh dengan tas punggung segede gunung tampak di hadapan gue ketika gue bergegas menuju pintu masuk jalur selatan. Hm… gue yakin mereka yang gue cari..


“Dwie?!” Tanya gue penuh kepastian kepada manusia tinggi kurus dengan ransel besar yang hamper menenggelamkan tubuhnya. “Adi?!” tanyanya balik kepada saya.. Dugaan gue tepat. Merekalah kawan seperjalanan gue selama beberapa hari kedepan. Akhirnya perkenalan singkat berlangsung, dan inilah profil para bocah petualang edisi ungaran :
  1. Dwie Bayu sang kepala suku, umur dirahasiakan, domisili depok, pekerjaan buruh pabrik milik kompeni (ngakunya buruh). Berperawakan tinggi, kurus, dan kulit sawo matang. Murah senyum sampai hal2 yg gk lucu-pun dia terus2san senyum. Satu lagi, PEDE abiiss…
  2. Joko, umur tidak diketahui, bekerja di salah satu BUMN terkemuka di bilangan Thamrin Jakarta, perawakan sedang dengan badan proposional. Cenderung pendiem.
  3. Widyo Eko, pria paling putih diantara pria lainnya, dengan logat jawa yang masih kental dan selalu mengajak gue berbicara dengan bahasa jawa yang gue gk mudeng banget. Pria religius, setidaknya itu yang gue lihat dari penampilannya.
  4. Zaki, umur dirahasiakan, domisili Cibubur, pekerjaan di salah satu perusahaan otomotif ternama di Cileungsi. Seorang wanita dengan gayanya yang cuek dan terlihat lebih subur diantara bolang yang lain.
  5. Dewi, umur dirahasiakan, domisili Cileungsi, pekerjaan sebagai pekerja rodi di perusahaan lokal yang selalu mengandalkan tenaganya. Wanita berjilbab dengan tubuh mungil namun tidak semungil kata-katanya alias ada aja yang diobrolin ini, kadang suka melakukan tindakan yang nggak jelas banget. Namun mojang inilah yang menjadikan perjalanan lebih hidup.
  6. Gue sendiri, pekerjaan pelayan, domisili Cengkareng-Cileungsi, watak mood2an tergantung sikon.
Sebenarnya masih ada satu bolang yang ikut dalam trip ini. Dheva, domisili Bendungan Hilir. Namun dia menyusul dengan pesawat besok pagi. Hm…kayanya orang borju nih.. Lain2 tentang Dheva akan gue ketahui besok saat jumpa di Semarang.




SEPARUH NYAWA HILANG DI KERETA TAWANG JAYA


Tepat banget deh lagunya bang Iwan Fals yang judulnya kereta tiba pukul berapa. Di jadwal, kereta ekonomi Tawang Jaya jurusan semarang seharusnya dah berangkat jam sembilan malam. Tapi sudah 1 jam lewat belum keliatan juga batang gerbongnya. Calon penumpang yang memenuhi stasiun sudah tidak bersabar menunggu kedatangan kereta yang notabene merupakan kereta terakhir yang diberangkatkan dari stasiun senen untuk hari ini.


Dan suara lembut Iwan Fals terus mengingang-ngiang dalam kepala saya, “Biasanya…. Kereta terlambat dua jam itu biasa…”.


Saya terus menerus melihat jam tangan yang saya kenakan. Entah sudah berapa kali saya melihat arah jarum jam dalam hitungan menit. Berapapun singkatnya waktu, ketika dalam keadaan menunggu hitungan menit serasa bagaikan berjam-jam yang tak berkesudahan. Sementara itu Dwie bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang kebetulan berpapasan. Sepertinya salah satu dari mereka adalah teman seperjalanan dwie dari trip terdahulu. Merekapun tenggelam dalam perbincangan yang akrab.


Kembali saya melihat jarum jam di pergelangan tangan saya. 22.35 WIB. Saya hanya ingin cepat mengakhiri penantian ini, beradu cepat menggelar lapak dilantai gerbong ekonomi Tawang Jaya dan melepaskan beban yang seharian terus menggelayuti tubuh dan pikiran saya.


Petugas informasi memberitahukan kedatangan kereta Tawang Jaya. Semua calon penumpang bersiap mempersiapkan diri dengan membawa barang mereka masing-masing. Termasuk rombongan kami dengan tas-tas yang besar. Perlahan kepala loko datang menghampiri diikuti gerbong satu, dua, dan selanjutnya. Belum juga berhenti, namun pintu-pintu gerbong kereta sudah dikerubuti penumpang yang tidak ingin kehilangan tempat duduknya. Hm… sepertinya perjuangan baru akan dimulai malam ini..



Malam ini Tuhan mengutus seseorang untuk berbagi kebaikan diatas gerbong kereta Tawang Jaya dan memutuskan untuk menjadikan dia orang terakhir yang bisa terlepas dari penderitaan. “kamu tidak boleh duduk atau bersandar pada apapun sebelum semua penumpang di kereta ini kebagian tempat meskipun itu dilantai”. Begitu kata-Nya. Dan sedihnya, orang itu adalah saya.


Begitulah sepanjang perjalanan kereta Tawang Jaya, dengan segala penderitaan dan menahan kantuk yang luar biasa, saya berdiri didalam gerbong tanpa dapat menyandarkan tubuh saya sama sekali, apalagi duduk di lantai gerbong yang sudah seperti pepes ikan. Seratusan manusia bertumpukan dalam satu gerbong, ada yang terpaksa “tidur” diantara kolong-kolong tempat duduk bersamaan dengan sampah dan alas kaki, ada yang nongkrong diatas sandaran tempat duduk, bahkan ada yang tiduran di bagasi, tempat menaruh barang diatas tempat duduk penumpang. Sementara kawan seperjalanan saya, Dwie, Zaki, dan Dewi duduk diatas tas ransel mereka sambil tertidur ayam. Joko dan eko duduk diatas sandaran tangan di samping tempat duduk penumpang yang beruntung mendapatkan tempat. Untungnya, Tuhan memberi diskon buat saya. Di stasiun Tegal beberapa penumpang mengakhiri kepergiannya dan lorong gerbong sedikit longgar sehingga saya dapat merasakan nikmatnya duduk di lantai dan meregangkan kaki saya yang sudah mati rasa.


Di stasiun Pemalang, Eko tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Dia pamit turun di Pemalang dan akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bis. “kita ketemu di Sido Mukti aja yah?!” janji eko ketika hendak turun..


Sementara di luar sana, pagi sudah mulai mengintip. Semarang masih terlalu jauh untuk dikejar, alamat tahun ini tidak dapat melaksanakan sholat Ied. Saya mendesah sambil menjatuhkan kepala saya keatas tangan yang merndekap kedua kaki saya yang tertekuk.