Sabtu, 02 Januari 2010

UNGARAN STORY 27 s.d. 29 NOPEMBER 2009 Part 1

Ada ketertarikan ketika saya membaca email dari salah satu rekan milist indobackpacker, Dwie Bayu. Ajakan trip ke ungaran, gedong songo, rawapening, museum kereta ambrawa, dan semarang kota lama. Rawapening dan ambarawa adalah point of interest saya. kecuali mendaki ke puncak ungaran, daerah lainnya sudah pernah saya kunjungi beberapa tahun silam.


Sebenarnya ada sedikit pressure mengikuti trip kali ini. Disamping belum kenal dengan peserta yang ikut, dan ini pertama kalinya saya ikut trip yang diadakan oleh anggota milist indobackpacker. Tetapi dari semua alasan itu yang paling menjadi pertimbangan adalah saya sudah lama banget nggak naik gunung dan sama sekali nggak punya peralatan kemping. Alhasil sehari sebelum keberangkatan saya sibuk mencari peralatan yang harus dibawa, dan sebagian terpaksa harus dibeli seperti sleeping bag, peralatan makan, dan sandal gunung (jd inget lagi sandal eiger saya yg setia menemani ke pelosok2 yang akhirnya hilang saat tarawih, hiks!!).


Berbekal semua itu, dan nomer kontak para peserta yang dah saya pegang, tepat pukul 17.00 tanpa pikir panjang saya langsung menuju halte busway Rawa Buaya, Cengkareng untuk meluncur ke TKP, stasiun Senen.


Adanya tansjakarta dengan jalur khusus busway-nya tidak serta merta perjalanan dari Rawa Buaya, cengkareng menuju St. Senen berjalan nyaman dan cepat. Lelah menunggu sekitar 45 menit yang seringkali halte tempat gue nunggu tidak disinggahi bus Transjakarta. Belum lagi bus express lsg ke pulogadung (kalau mau ke St. Senen lebih cepat naik bus yg tujuan ke pulogadung sehingga tidak transit dan mengantri kembali di halte harmoni) terhitung jarang, sekalipun ada penuhnya tidak berperikebuswayan. Syukurlah, berkat hasil sikut kanan sikut kiri tanpa menyakiti yang tersikut (nggak jelas!!!) akhirnya gue bs masuk bus ekspress tujuan pulogadung meskipun harus berdiri kaku dengan beban tas backpack yang besarnya segede gunung yang akan gue daki (lebay!!!).


Dalam kesesakan dan kesibukan gue ngatur posisi badan yang dah gk balance lagi dengan kaki, tiba2 hp gue berbunyi, pesan singkat dari dwie bayu, “guys, gue dah dapet tiketnya. Sorry gak dapet tempat duduk”. Hm.. sudah gue duga sebelumnya. Siap2 ngemper di lantai gerbong. Susah memang mendapatkan tempat duduk dengan membeli tiket secara dadakan apalagi saat libur panjang seperti sekarang. Yup, besok hari raya Idul Adha, dan itu berarti gue harus berdesakan dan buka lapak di atas kereta.


“Hallo, adi?! Kita dah di depan pintu masuk jalur selatan nih, loe dimana?
“gue di jalur pintu utara dwie, gue kesana sekarang deh…”


Waktunya ketemu para peserta trip. Duh, mereka dah ngumpul bareng dan gue orang terakhir yang belum berjumpa dengan mereka. Artinya, mereka sudah berkenalan satu sama lain sementara gue harus berbasa basi memperkenalkan diri.


Sekumpulan manusia-manusia aneh dengan tas punggung segede gunung tampak di hadapan gue ketika gue bergegas menuju pintu masuk jalur selatan. Hm… gue yakin mereka yang gue cari..


“Dwie?!” Tanya gue penuh kepastian kepada manusia tinggi kurus dengan ransel besar yang hamper menenggelamkan tubuhnya. “Adi?!” tanyanya balik kepada saya.. Dugaan gue tepat. Merekalah kawan seperjalanan gue selama beberapa hari kedepan. Akhirnya perkenalan singkat berlangsung, dan inilah profil para bocah petualang edisi ungaran :
  1. Dwie Bayu sang kepala suku, umur dirahasiakan, domisili depok, pekerjaan buruh pabrik milik kompeni (ngakunya buruh). Berperawakan tinggi, kurus, dan kulit sawo matang. Murah senyum sampai hal2 yg gk lucu-pun dia terus2san senyum. Satu lagi, PEDE abiiss…
  2. Joko, umur tidak diketahui, bekerja di salah satu BUMN terkemuka di bilangan Thamrin Jakarta, perawakan sedang dengan badan proposional. Cenderung pendiem.
  3. Widyo Eko, pria paling putih diantara pria lainnya, dengan logat jawa yang masih kental dan selalu mengajak gue berbicara dengan bahasa jawa yang gue gk mudeng banget. Pria religius, setidaknya itu yang gue lihat dari penampilannya.
  4. Zaki, umur dirahasiakan, domisili Cibubur, pekerjaan di salah satu perusahaan otomotif ternama di Cileungsi. Seorang wanita dengan gayanya yang cuek dan terlihat lebih subur diantara bolang yang lain.
  5. Dewi, umur dirahasiakan, domisili Cileungsi, pekerjaan sebagai pekerja rodi di perusahaan lokal yang selalu mengandalkan tenaganya. Wanita berjilbab dengan tubuh mungil namun tidak semungil kata-katanya alias ada aja yang diobrolin ini, kadang suka melakukan tindakan yang nggak jelas banget. Namun mojang inilah yang menjadikan perjalanan lebih hidup.
  6. Gue sendiri, pekerjaan pelayan, domisili Cengkareng-Cileungsi, watak mood2an tergantung sikon.
Sebenarnya masih ada satu bolang yang ikut dalam trip ini. Dheva, domisili Bendungan Hilir. Namun dia menyusul dengan pesawat besok pagi. Hm…kayanya orang borju nih.. Lain2 tentang Dheva akan gue ketahui besok saat jumpa di Semarang.




SEPARUH NYAWA HILANG DI KERETA TAWANG JAYA


Tepat banget deh lagunya bang Iwan Fals yang judulnya kereta tiba pukul berapa. Di jadwal, kereta ekonomi Tawang Jaya jurusan semarang seharusnya dah berangkat jam sembilan malam. Tapi sudah 1 jam lewat belum keliatan juga batang gerbongnya. Calon penumpang yang memenuhi stasiun sudah tidak bersabar menunggu kedatangan kereta yang notabene merupakan kereta terakhir yang diberangkatkan dari stasiun senen untuk hari ini.


Dan suara lembut Iwan Fals terus mengingang-ngiang dalam kepala saya, “Biasanya…. Kereta terlambat dua jam itu biasa…”.


Saya terus menerus melihat jam tangan yang saya kenakan. Entah sudah berapa kali saya melihat arah jarum jam dalam hitungan menit. Berapapun singkatnya waktu, ketika dalam keadaan menunggu hitungan menit serasa bagaikan berjam-jam yang tak berkesudahan. Sementara itu Dwie bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang kebetulan berpapasan. Sepertinya salah satu dari mereka adalah teman seperjalanan dwie dari trip terdahulu. Merekapun tenggelam dalam perbincangan yang akrab.


Kembali saya melihat jarum jam di pergelangan tangan saya. 22.35 WIB. Saya hanya ingin cepat mengakhiri penantian ini, beradu cepat menggelar lapak dilantai gerbong ekonomi Tawang Jaya dan melepaskan beban yang seharian terus menggelayuti tubuh dan pikiran saya.


Petugas informasi memberitahukan kedatangan kereta Tawang Jaya. Semua calon penumpang bersiap mempersiapkan diri dengan membawa barang mereka masing-masing. Termasuk rombongan kami dengan tas-tas yang besar. Perlahan kepala loko datang menghampiri diikuti gerbong satu, dua, dan selanjutnya. Belum juga berhenti, namun pintu-pintu gerbong kereta sudah dikerubuti penumpang yang tidak ingin kehilangan tempat duduknya. Hm… sepertinya perjuangan baru akan dimulai malam ini..



Malam ini Tuhan mengutus seseorang untuk berbagi kebaikan diatas gerbong kereta Tawang Jaya dan memutuskan untuk menjadikan dia orang terakhir yang bisa terlepas dari penderitaan. “kamu tidak boleh duduk atau bersandar pada apapun sebelum semua penumpang di kereta ini kebagian tempat meskipun itu dilantai”. Begitu kata-Nya. Dan sedihnya, orang itu adalah saya.


Begitulah sepanjang perjalanan kereta Tawang Jaya, dengan segala penderitaan dan menahan kantuk yang luar biasa, saya berdiri didalam gerbong tanpa dapat menyandarkan tubuh saya sama sekali, apalagi duduk di lantai gerbong yang sudah seperti pepes ikan. Seratusan manusia bertumpukan dalam satu gerbong, ada yang terpaksa “tidur” diantara kolong-kolong tempat duduk bersamaan dengan sampah dan alas kaki, ada yang nongkrong diatas sandaran tempat duduk, bahkan ada yang tiduran di bagasi, tempat menaruh barang diatas tempat duduk penumpang. Sementara kawan seperjalanan saya, Dwie, Zaki, dan Dewi duduk diatas tas ransel mereka sambil tertidur ayam. Joko dan eko duduk diatas sandaran tangan di samping tempat duduk penumpang yang beruntung mendapatkan tempat. Untungnya, Tuhan memberi diskon buat saya. Di stasiun Tegal beberapa penumpang mengakhiri kepergiannya dan lorong gerbong sedikit longgar sehingga saya dapat merasakan nikmatnya duduk di lantai dan meregangkan kaki saya yang sudah mati rasa.


Di stasiun Pemalang, Eko tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Dia pamit turun di Pemalang dan akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bis. “kita ketemu di Sido Mukti aja yah?!” janji eko ketika hendak turun..


Sementara di luar sana, pagi sudah mulai mengintip. Semarang masih terlalu jauh untuk dikejar, alamat tahun ini tidak dapat melaksanakan sholat Ied. Saya mendesah sambil menjatuhkan kepala saya keatas tangan yang merndekap kedua kaki saya yang tertekuk.

2 komentar:

Kiki mengatakan...

Tuhan ngak akan kasih coban di luar kemampuan umatNya bro,,you are the chosen one ,,,utk berdiri smaleman di kreta hehe,,,:p

Anonim mengatakan...

wah seru ya traveling dengan teman2 baru..
kapan2 ajak gw ya hehehe