Selasa, 09 Juni 2009

TRANS INDONESIA TIMUR PART 1

menuju kupang


selamat datang di Kupang


"jet super mewah" versi TransNusa


Trans Nusa operated by Riau Airlines


diatas perairan NTT, keindahannya sudah terlihat



rumah pengasingan bung Karno



FLORES!!! ONE OF DREAMS COME TRUE...

Ini adalah perjalanan terjauh saya selama ini.
sendiri, tak ada kenalan, dan buta daerah yang dituju. ditambah gambaran dan cerita selentingan berita tentang sangarnya orang-orang timur.
but the show must go on...
hanya berbekal catper teman2 milis yang pernah berkunjung kesana saya meyerahkan diri....

HARI 1

pukul 07.45 pesawat Mandala Airbus A.320 RI 280 membawa saya ke Kupang, kota yang dulu, tidak terbesitpun dibenak saya akan saya kunjungi karena cerita dan kabar kabur tentang perangai dan watak orang timur. karena bosan dengan wilayah barat indonesia dan penasaran dengan keindahan daratan flores, kabar miring itupun saya kesampingkan. selama masih menggunakan bahasa indonesia, apapun masih bisa di atasi. itu prinsip saya.

4 jam 30 menit pesawat membawa saya hingga landing dengan mulus di bandara Eltari, Kupang setelah sebelumnya transit di Juanda, Surabaya. dari sini saya harus melanjutkan penerbangan ke Ende, Flores dengan menumpang RIU 537 Fokker 27 milik Riau Airlines. karena tujuan pertama saya adalah desa moni yang masuk dalam wilayah kabupaten ende, Flores. desa inilah akses terdekat menuju danau 3 warna yang melegenda, kelimutu. tujuan pertama saya.

suguhan pertama ende dari atas pesawat jet super mewah (saya menyebutnya pesawat jet super mewah karena kursinya yang super lebar dan berlapis kulit dan hanya berjumlah sekitar 30-an tempat duduk) sudah memikat saya. pesawat perlahan menurun dengan menyisir pegunungan berbatu yang langsung berbatasan dengan birunya perairan ende. Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende terletak diantara pantai yang diapit oleh perbukitan dan pegunungan berbatu, bahkan tepat di ujung landasan yang pendek, sebuah bukit dengan perkasanya siap menghadang pesawat jika saja sang pilot salah perhitungan landing.

terminal bandara yang kecil, sebuah bangunan yang terbagi dua antara ruang kedatangan dan ruang keberangkatan. begitu memasuki ruang kedatangan, pintu keluarpun menyambut.

selamat datang di ende....

hitam, bertatto disekujur tubuh, kedua telinga ditindik, berbadan tegap, itulah ciri2 fisik Yotan, driver yang mengantar saya keterminal ende. hampir semua para pria yang saya dapati kurang lebih sama dengan ciri2 yotan. awalnya saya sempat getir saat keluar bandara. satu sama lain saling meninggikan suara memanggil-manggil untuk menawarkan jasa mengantarkan tujuan saya. sepertinya akhir petualangan saya akan berakhir disini... benar apa yang saya dengar tentang orang timur.

saya salah. saya merasa bersalah dengan yotan. didalam kijang krista, "taksi" yang membawa saya ke terminal bus antar kota, yotan dengan ramahnya bercerita banyak tentang ende. bahkan tanpa diminta diapun mengajak saya berkeliling kota ende, tentang sejarahnya, budayanya, keanekaragam warganya. baru saya tahu, banyak etnik yang mendiami kota ini. disini kerukunan beragama terjalin mesra. ada kampung muslim yang bertetanggaan dengan penduduk asli. gereja katedral tua dengan lokasi yang tidak berjauhan dengan mesjid dan rumah bekas pengasingan bung karno tak lupa kami kunjungi.

Tidak enak hati telah mengajak saya berkeliling ende, tarif 20 ribu yang sesuai kesepakatan sebelumnya, sayapun memberinya lebih.

kini saya berada di atas kendaraan travel yang akan mengantar saya ke desa Moni. terisi sarat penumpang dengan tujuan maumere dan sekitarnya. menyusuri jalan yang berkelok yang mengiringi kantuk saya hingga saya tertidur.

satu mimpi saya telah terwujud
kelimutu...
saya datang.....





Tiket Mandala Jkt - Kupang : 325.000
Trans NusA Kupang - Ende : 512.000
Taxi Krista : 20.000 plus tambahan bonus
travel moni : 70.000 (ditembak gk ya?!)

Jumat, 20 Maret 2009

UJUNG GENTENG 14 S.D. 16 NOPEMBER 2008 BAGIAN II
















HERE WE COME...


Pukul 05.30 wib sekarang. Desa Surade telah jauh dibelakang. Kendaraan terus melintasi jalanan yang membelah hamparan perkebunan kelapa yang tinggi menjulang. Disisi kiri jalan, puluhan sapi dibiarkan bebas merumput di lahan luas yang berbatasan langsung dengan samudera lepas. Sementara disisi kanan jalan merupakan perkebunan yang didominasi oleh kelapa dan tanaman ubi jalar alias singkong.
cuaca agak sedikit berawan ketika kami sampai di dermaga lama. Dermaga yang sudah tak terpakai dan sebagian besar hancur karena terjangan ombak perairan selatan yang dasyat. deretan perahu nelayan tradisional berjejer rapi memenuhi garis pantai. Terlihat kesibukan nelayan disini, ada yang bersiap-siap hendak melaut, dan ada yang sibuk membongkar muat ikan hasil tangkapannya dan membawanya ke tempat pelelangan ikan, tak jauh dari perahu-perahu mereka. Ada yang berbeda dengan perahu2 nelayan disini, perahu-perahu kecil dengan tiang tinggi yang ramai dengan umbul-umbul berwarna-warni selain bendera merah putih yang berkibar dipuncak tiangnya. Tentu menambah semarak suasana pagi ini. Dari kejauhan, Herbud, Adi X-ten, Fadli, dan Waxhyoe tampak sibuk mengabadikan momen dihadapan mereka melalui kameranya masing-masing.
Ujung genteng merupakan daerah yang dikeliling oleh pantai. Karenanya, saat matahari terbit dan terbenam bisa dilihat disini. untuk melihat sunrise atau matahari terbit bisa dilihat di pantai yang lokasinya tepat dibelakang tempat pelelangan ikan. Namun sayang, pantai ini tidak bisa digunakan untuk berenang atau berbasah-basahan karena banyaknya perahu nelayan yang ditambatkan disini.
matahari sudah semakin tinggi. saatnya mencari penginapan dan sarapan .....


VILLA KOBOY YANG BENAR-BENAR KOBOY


Tak ingin bersusah-susah mencari penginapan saya memutuskan untuk kembali menggunakan villa pak Koboy sebagai tempat peristirahatan kami. Sebelumnya saya menggunakan villa koboy sewaktu pertama kali ke Ujung Genteng. lokasinya berada ditengah-tengah antara dermaga lama dengan Pantai Pangumbahan, lokasi bertelurnya penyu hijau.
kendaraan menyusuri jalan berbatu melintasi komplek penginapan yang bersebelahan satu sama lain, berganti dengan jalan pasir yang dipagari oleh semak dan bibir pantai. ditengah perjalanan ternyata jembatan penghubung yang menuju lokasi penginapan terputus karena derasnya arus muara sungai yang berbatasan langsung dengan pantai. kamipun tak bisa meneruskan perjalanan.

Tidak ada jalan lain yang menuju villa koboy.

'Bagaimana kalau diterobos saja sungainya Pak Indra? toh tidak begitu dalam.. Lagipula kepalang tanggung kita sudah jalan sejauh ini. Kalau kita tidak menyeberang berarti kita juga tidak bisa ke Pantai Pangumbahan tempat Penyu Hijau Bertelur. Berarti sia-sia kita kesini, karena tujuan kita kesini kan untuk melihat Penyu Hijau… Hitung2 sekalian off road pak!" himbau saya kepada Pak Indra dan yang lainnya

Sebenarnya arus sungai tidak begitu deras dan masih bisa dilalui kendaraan. Kendala yang menghadang adalah berupa pecahan-pecahan karang tajam yang memenuhi dasar sungai dan juga sekitar pinggiran sungai yang dapat merobek ban kendaraan kami. Sebuah resiko buat kami.

"Oke! saya coba dengan kendaraan saya dulu. kalau bisa baru kalian." Pak Indra menyetujui setelah dipertimbangkan dalam-dalam.

Terios-pun menerjang derasnya arus muara sungai yang membelah kawasan ini. Perlahan tapi pasti hingga tiba diseberang sungai tanpa mengalami kendala. Tak lama disusul oleh Panther setelah semua penumpangnya terlebih dahulu turun dan menunggu di seberang sungai, Kijang Kapsul mengikuti dari belakang. Tidak mengalami masalah berarti meskipun pada saat naik ke daratan kijang kapsul mogok seketika.

Rintangan pertama berhasil dilalui….

Villa Koboy, tak nampak adanya perbedaan sewaktu pertama kali ke tempat ini. Catnya yang didominasi warna merah. tak ada tambahan bangunan dikanan kirinya. hanya warung kecil yang selalu setia berada disamping dan agak menjorok ke pantai. di warung kecil inilah kami memesan sarapan berupa mie instant. Tak ada makanan siap saji disini. kalau mau makan besar, harus pesan dulu sebelumnya. Seperti makan siang, sudah harus dipesan pagi tadi. begitu juga makan malam, kita harus memesannya disiang hari. Lauk pauk harus mereka beli terlebih dahulu di TPI atau membeli dari nelayan yang kebetulan melintas.

Sore ini, kami habiskan waktu menikmati keindahan perairan ujung genteng dengan berjalan kaki. Orang-orang menjaring ikan dan memancing dengan cara menceburkan diri hingga separuh tubuh mereka terendam air laut adalah pemandangan yang dominan yang terlihat disekitar pantai depan villa koboy. Dipantai ini relatif tidak ada ombak besar menerjang karena sekitar 100 meter didepannya dihadang oleh karang-karang besar sehingga ombak besar pecah disana.

Berjalan lebih jauh lagi sekawanan domba dan sapi dibiarkan merumput di padang ilalang sepanjang pantai arah ke pangumbahan. Hingga tak terasa jauh sudah kami berjalan hingga sampai di pantai pangumbahan. Disini sudah ada Pak Indra & keluarga dan juga rafik yang tiba terlebih dahulu dengan menggunakan kendaraan.

Pangumbahan, pantai berpasir putih yang cukup luas dan bersih dari batu batu karang. Pantaslah banyak penyu menjadikan pantai ini sebagai tempat mereka bertelur. Pantai ini berbeda dengan kebanyakan pantai di area ujung genteng yang pada umumnya berpasir kasar dan banyak karang karang. Kondisi ini tidak disia-siakan oleh kami yang sudah lapar mata akan keindahannya. Saya, Herbud, Adi X-10, Wachyoe, Fadli, dan Patrick langsung menceburkan diri kepantai yang disambut deburan ombak yang bergulung –gulung. Sementara yang lain asik bermain pasir dan sibuk mengabadikan moment yang ada.

Senja tenggelam dibalik horizon, memaksa kami menyudahi kesenangan ini………

Perjalanan kembali menuju villa kami menggunakan kendaraan yang dikendarai oleh Rafi sebelumnya. Dalam perjalanan ini rintangan kedua telah menghadang didepan kami. Pantai yang sebelumnya dapat dilintasi kini penuh oleh air laut yang sedang pasang . tak ingin tertahan disini, di daerah yang tak berpenduduk, kami mencoba untuk menyebranginya. Doel mencari jalan yang aman untuk dilalui. Setelah dinilai aman kendaraan pun menerjang pantai yang semakin tinggi oleh air pasang. Beberapa kali kendaraan terjebak besarnya karang-karang membuat panik suasana. Setelah berusaha keluar dari rintangan ini dan mengarungi laut pasang sepanjang kurang lebih 100 meter akhirnya kami terbebas dari rintangan dan kembali kedaratan.


ANTARA ADA DAN TIADA

Malam sedikit hujan. Sudah jam 10. Jika hujan tak juga reda, maka rencana kami menyaksikan penyu hijau bertelur terancam gagal. Dengan harap-harap cemas sebagian dari kami menunggu di teras villa sementara yang lain sudah bersiap-siap tidur karna tidak yakin hujan akan berhenti.

Syukurlah hujan reda. Jam 11 malam sekarang. Dengan semangat yang masih tersisa kami bertujuh tanpa Pak Indra, Doel, dan Iwan bersiap menuju pantai pangumbahan yang sore hari telah dijelajahi sebelumnya. Dengan berbekal 2 senter kecil, kami berjalan kaki menyusuri pantai yang sama. Gelap gulita tidak ada penerangan sama sekali. Di perbatasan pantai pangumbahan yang merupakan daerah terlarang untuk dimasuki di malah hari karna aktivitas penyu bertelur dikawasan ini, kami melintasi hutan dan semak belukar. Keadaan semakin gelap gulita. Tidak terlihat satu pun rumh penduduk disini. Cukup jauh kami berjalan membelah hutan. Tak ada yang tahu kemana ujung jalan ini, apakah menuju pintu kawasan konservasi penyu atau semakin dalam kami tersesat didalam hutan. Dibayangi oleh jalan yang tak tentu dan dihantui oleh hujan yang siap mengguyur, kami mencoba terus menyusuri jalan yang penuh dengan kubangan air dan lumpur yang hanya diterangi dua buah senter yang dibawa oleh Rafi yang berjalan di depan dan saya yang berjalan di belakang. Perkara apa yang terjadi didepan urusan belakangan.

Akhirnya setelah satu jam lebih berjalan tampak penerangan diujung jalan. Asa kembali tumbuh. Semakin dekat, dan ternyata jalan kami tidak salah. Pintu Masuk Kawasan Konservasi Penyu Hijau Pantai Pangumbahan menanti kami. Tapi tak ada satupun petugas yang terlihat. Kami terus masuk menuju pantai setelah terlebih dahulu mematikan senter.

Penyu yang naik ke darat dan hendak bertelur sangat sensitif dengan cahaya dan suara gaduh. Karenanya disini tidak boleh menyalakan senter bahkan menyalakan rokok. Penyu akan mengurungkan niatnya bertelur dan kembali ke laut jika melihat cahaya atau suara gaduh disekitarnya.

Sepi sekali disini, tidak seperti kunjungan pertama saya sebelumnya yang begitu ramai dengan pengunjung yang ingin menyaksikan penyu bertelur. Tapi ada baiknya, semakin sepi berarti semakin banyak penyu yang naik kedarat dan bertelur karena tidak terganggu oleh cahaya dan kegaduhan yang bisa membatalkan hajat besar mereka.

Tidak ada petugas disekitar sini. Cukup lama kami menunggu, Apa yang harus kami lakukan? Duduk disini dan menunggu berharap ada penyu yang baik hati dan bersimpati kepada kami dengan memamerkan bagaimana cara bertelur? Akhirnya saya mencoba berjalan sendirian ditengah kegelapan malam mencari keberuntungan sementara yang lain duduk menunggu didepan penangkaran telur penyu untuk ditetaskan.

Sosok hitam dihadapan saya mengundang ketertarikan saya untuk mencari tahu apa sebenarnya benda itu. Berharap-harap cemas semoga benda itu adalah penyu yang saya cari. Ternyata sebongkah batu besar telah menipu saya. Kembali saya berjalan kali ini agak menjauh dari bibir pantai ke arah semak ilalang. Dan betapa terkejutnya saya tepat dihadapan saya tanpa terduga seekor penyu hijau besar sedang menimbum pasir. Ukuran panjangnya sekitar 80 s.d. 90 cm. Sepertinya dia telah membuat sarang telurnya disana. Tak berapa lama Herbud, Rafi, dan Wachyoe dating menghampiri menyaksikan moment langka ini hingga akhirnya penyu tersebut kembali ke lautan lepas Samudera Hindia.
Ada banyak penyu yang kami temui malam ini, sayang alam tak bersahabat. Gerimis kembali turun disertai kilatan petir membuat kami tak bisa berlama-lama disini. Pukul 00.45 wib kami kembali pulang..

Gerimispun mengiringi langkah kaki-kaki lelah kami….