Jam 5.30 wib senja utama yogya dengan keletihannya tiba juga di stasiun tugu, Jogjakarta. Untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki di kota gudeg ini. Kota leluhur ibu saya berasal. Tiga generasi yang lalu, ketika kakek saya pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan menjadi tenaga paksa buah penjajahan Belanda di negeri seberang, Bintan Riau Kepulauan hingga akhirnya tidak sempat kembali ke kampung halamannya. Saya menyebutnya generasi yang hilang… Dan kini, saya salah satu generasi yang hilang, kembali menyambangi kota ini, meskipun telah menjadi pendatang, bukan sebagai pemudik yang akan kembali ke kota asalnya. Bersama dengan 4 kawan baru saya, Emmy, Sanjala, Atiek, dan Anto.
Rencana kami ke Jogja kali ini adalah ingin menikmati kesegaran desa Turgo kabupaten Sleman yang terletak di atas lereng gunung Merapi, gunung api paling aktif di Indonesia bahkan di dunia. Desa dengan ketinggian sekitar 900 meter diatas permukaan laut (dpl) ini merupakan salah satu desa terakhir dan paling dekat dengan puncak Merapi.
Dari tempat kami menginap di jl. Sosrowijayan, sekitar Malioboro, perjalanan menuju desa Turgo hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari satu jam dengan jalanan yang terus menanjak. Sebuah desa yang menawarkan sensasi kehidupan desa yang bersahabatkan gunung Merapi yang setiap saat dapat saja terbatuk. Rumah-rumah berpondasi batu kali yang mencerminkan ganasnya letusan merapi yang mengharuskan tempat tinggal mereka harus kokoh melindungi penghuninya.
Adalah pak Tri Yanto, pengelola pondok wisata Alam Desa Turgo. Disini terdapat beberapa paket yang menawarkan keindahan dan kehidupan sehari-hari warga desa. Berkebun dan bercocok tanam, memerah susu sapi hingga trekking melintasi hutan menyambut sunrise dibalik puncak Merapi. Paket yang disediakan mulai dari Rp.15.000,- hingga Rp.30.000,- perorang. Beliaulah yang menjadi pemandu kami dalam paket yang kami ambil senilai Rp.20.000,- dengan lama perjalanan sekitar 3 sampai 4 jam. Trekking melintasi kebon salak, menyusuri lembah, hutan pinus, bambu, dan hutan jati hingga berujung di atas bukit dengan puncak Merapi yang tinggi menjulang menyambut kedatangan kami.
"plang" pondok alam desa siap menyambut kedatangan
gerbang dan jalan setapak menuju Pondok Alam Desa
pak Yanto dengan sejumlah koleksi foto letusan Merapi di pondok miliknya
berdoa sebelum memulai trekking
berpose sejenak sebelum trekking
menyusuri sisi jurang lokasi penambangan pasir lahar dingin
kehidupan keras yang harus dijalani para perempuan desa
karakter rumah di desa Turgo, upaya mengantisipasi dari keganasan "wedus gembel" Merapi
pemandangan langka yang tidak ditemui di kota-kota besar
mengumpulkan sisa-sisa tenaga memikul kayu dari atas gunung
menyusuri jalan bekas lonsor dan pohon yang tumbang
memasuki hutan pinus, cemara hutan
3 diva beristirahat sejenak
melepas penat begitu sampai di ujung trek
pesona merapi dari ujung trek
melintasi kawasan hutan bambu dalam perjalanan pulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar